Beberapa tahu lalu, ketika seorang sahabat saya menjadi wartawan di sebuah surat kabar harian, pada dinding di belakang meja petinggi redaksi terpasang sebuah papan putih dengan ukuran cukup besar. Papan itu berisi daftar “imbauan” dari pelbagai pihak dan instansi pengendalinya, meminta agar peristiwa tertentu tidak diberitakan oleh media tempat sahabat saya bekerja. Biasanya berita-berita terlarang itu adalah yang berkaitan dengan masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Inilah yang menjadi paradoks banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa menguburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Padahal bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan yang membutuhkan triangle. Dalam sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizens).
Dewasa ini, setelah beberapa tahun katup informasi itu dibuka total sejak mundurnya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, dunia jurnalistik Indonesia seperti masih berada di era kegelapan. Media massa memang banjir jumlahnya, namun tetap sulit khlayak menjumpai karya investigatif yang membawa perubahan besar terhadap perikehidupan bernegara.
Tampaknya memang ada yang janggal dengan media massa Indonesia. Ambillah contoh kasus-kasus yang menimpa dari kebobrokan sebuah partai ataupun kasus-kasus korupsi dari daerah hingga pusat. Sudah disebut-sebut bahwa ada beberapa kasus Gayus yang sangat fenomenal, atau yang paling terbaru Udin “terkorup sedunia” yang diberitakan kabur ke Singapura. Sudah disinggung-singgung sejumlah nama yang terlibat dalam kasus tersebut, namun media sudah merasa cukup puas jika bisa memberitakan satu narasumber menyebut nama yang disangka terlibat, lalu nama yang bersangkutan memberikan bantahannya.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Beberapa faktor bisa menjadi penyebabnya. Pertama, agaknya memang tidak ada visi dari pemilik atau pengelola media untuk menjadi liputan investigatif sebagai sesuatu yang penting dan harus ada. Walaupun ada, masih belum masuk dalam apa yang penulis sebut di atas. Mereka tidak mau menanggung pelbagai resiko jika terjun total dalam liputan investigatif, mulai dari alokasi sumber daya yang tidak memadai, konsekuensi finansial yang mungkin ditimbulkan berbiaya mahal, belum lagi implikasi hukum apabila pihak-pihak yang tersangkut dalam liputan itu mengajukan gugatan nantinya, terlebih dalam media tersebut merupakan salah satu triangle, yaitu sisi pemasang iklan.
Kedua, ada kecenderungan pemilik media yang melihat liputan investigatif hanya sebgai obat pemuas, hanya berdampak pada prestise atau membangun brand media saja. Mereka lupa bahwa liputan investigatif adalah jiwa sesungguhnya dari jurnalisme karena liputan jenis ini selalu berhubungan dengan hajat hidup seluruh umat. Terlebih pula bahwa informasi dari sebuah jurnalisme yang layak adalah bahan pokok selain sembako.
Beberapa media memang memang mencoba melakukan upaya-upaya yang agak mengarah ke liputan investigatif ini, namun masih jauh dari standar yang lazim berlaku dalam prakten liputan investigatif, karena tetap tidak membongkar hingga kepada akar-akar kejahatan. Beberapa media bahkan membuat laporan yang yang diniatkan seperti lipuatan investigatif, namun sesungguhnya hanya edisi panjang dari hard news yang disajikan sekian hari sebelumnya. Artinya, bentuk depth masih “nanggung”, kadang-kadang bahkan tanpa data baru.
Apa yang kini berlaku dalam dunia jurnalistik Indonesia jelas-jelas sebuah ironi yang memprihatinkan. Justru di masa lalu ketika situasi masih tertutup, dimana informasi dikendalikan oleh penguasa Orde Baru lewat pelbagai cara baik canggih maupun vulgar, masih bisa muncul anomali.
Sementara dulu segala ketertutupan dan kekangan yang diperlakukan Orde Baru mungkin kerap dijadikan kambing hitam sebagai penghambat lahirnya karya-karya bermutu di dunia jurnalisme Indonesia, sekarang tidak ada lagi yang bisa dipersalahkan oleh media. Media harus menuding dan menggugat dirinya sendiri karena tak memiliki semangat dan kemampuan untuk menjadikan profesinya sebagai profesi yang menggentarkan siapa pun yang berniat melakukan tindak kejahatan publik. Semoga ada “Jurnaludin” sedunia !
Inilah yang menjadi paradoks banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa menguburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Padahal bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan yang membutuhkan triangle. Dalam sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizens).
Dewasa ini, setelah beberapa tahun katup informasi itu dibuka total sejak mundurnya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, dunia jurnalistik Indonesia seperti masih berada di era kegelapan. Media massa memang banjir jumlahnya, namun tetap sulit khlayak menjumpai karya investigatif yang membawa perubahan besar terhadap perikehidupan bernegara.
Tampaknya memang ada yang janggal dengan media massa Indonesia. Ambillah contoh kasus-kasus yang menimpa dari kebobrokan sebuah partai ataupun kasus-kasus korupsi dari daerah hingga pusat. Sudah disebut-sebut bahwa ada beberapa kasus Gayus yang sangat fenomenal, atau yang paling terbaru Udin “terkorup sedunia” yang diberitakan kabur ke Singapura. Sudah disinggung-singgung sejumlah nama yang terlibat dalam kasus tersebut, namun media sudah merasa cukup puas jika bisa memberitakan satu narasumber menyebut nama yang disangka terlibat, lalu nama yang bersangkutan memberikan bantahannya.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Beberapa faktor bisa menjadi penyebabnya. Pertama, agaknya memang tidak ada visi dari pemilik atau pengelola media untuk menjadi liputan investigatif sebagai sesuatu yang penting dan harus ada. Walaupun ada, masih belum masuk dalam apa yang penulis sebut di atas. Mereka tidak mau menanggung pelbagai resiko jika terjun total dalam liputan investigatif, mulai dari alokasi sumber daya yang tidak memadai, konsekuensi finansial yang mungkin ditimbulkan berbiaya mahal, belum lagi implikasi hukum apabila pihak-pihak yang tersangkut dalam liputan itu mengajukan gugatan nantinya, terlebih dalam media tersebut merupakan salah satu triangle, yaitu sisi pemasang iklan.
Kedua, ada kecenderungan pemilik media yang melihat liputan investigatif hanya sebgai obat pemuas, hanya berdampak pada prestise atau membangun brand media saja. Mereka lupa bahwa liputan investigatif adalah jiwa sesungguhnya dari jurnalisme karena liputan jenis ini selalu berhubungan dengan hajat hidup seluruh umat. Terlebih pula bahwa informasi dari sebuah jurnalisme yang layak adalah bahan pokok selain sembako.
Beberapa media memang memang mencoba melakukan upaya-upaya yang agak mengarah ke liputan investigatif ini, namun masih jauh dari standar yang lazim berlaku dalam prakten liputan investigatif, karena tetap tidak membongkar hingga kepada akar-akar kejahatan. Beberapa media bahkan membuat laporan yang yang diniatkan seperti lipuatan investigatif, namun sesungguhnya hanya edisi panjang dari hard news yang disajikan sekian hari sebelumnya. Artinya, bentuk depth masih “nanggung”, kadang-kadang bahkan tanpa data baru.
Apa yang kini berlaku dalam dunia jurnalistik Indonesia jelas-jelas sebuah ironi yang memprihatinkan. Justru di masa lalu ketika situasi masih tertutup, dimana informasi dikendalikan oleh penguasa Orde Baru lewat pelbagai cara baik canggih maupun vulgar, masih bisa muncul anomali.
Sementara dulu segala ketertutupan dan kekangan yang diperlakukan Orde Baru mungkin kerap dijadikan kambing hitam sebagai penghambat lahirnya karya-karya bermutu di dunia jurnalisme Indonesia, sekarang tidak ada lagi yang bisa dipersalahkan oleh media. Media harus menuding dan menggugat dirinya sendiri karena tak memiliki semangat dan kemampuan untuk menjadikan profesinya sebagai profesi yang menggentarkan siapa pun yang berniat melakukan tindak kejahatan publik. Semoga ada “Jurnaludin” sedunia !