• Jadi Pemimpin, Mau?

    This is slide 1 description.

  • Enter Slide 2 Title

    This is slide 2 description.

  • Enter Slide 3 Title

    This is slide 3 description.

  • Enter Slide 4 Title

    This is slide 4 description.

  • Enter Slide 5 Title

    This is slide 5 description.

  • Enter Slide 6 Title

    This is slide 6 description.

  • Enter Slide 7 Title

    This is slide 7 description.

  • Enter Slide 8 Title

    This is slide 8 description.

  • Enter Slide 9 Title

    This is slide 9 description.

Sabtu, 28 Mei 2011

Ironi Jurnalisme Indonesia

Beberapa tahu lalu, ketika seorang sahabat saya menjadi wartawan di sebuah surat kabar harian, pada dinding di belakang meja petinggi redaksi terpasang sebuah papan putih dengan ukuran cukup besar. Papan itu berisi daftar “imbauan” dari pelbagai pihak dan instansi pengendalinya, meminta agar peristiwa tertentu tidak diberitakan oleh media tempat sahabat saya bekerja. Biasanya berita-berita terlarang itu adalah yang berkaitan dengan masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Inilah yang menjadi paradoks banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa menguburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Padahal bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan yang membutuhkan triangle. Dalam sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizens).

Dewasa ini, setelah beberapa tahun katup informasi itu dibuka total sejak mundurnya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, dunia jurnalistik Indonesia seperti masih berada di era kegelapan. Media massa memang banjir jumlahnya, namun tetap sulit khlayak menjumpai karya investigatif yang membawa perubahan besar terhadap perikehidupan bernegara.

Tampaknya memang ada yang janggal dengan media massa Indonesia. Ambillah contoh kasus-kasus yang menimpa dari kebobrokan sebuah partai ataupun kasus-kasus korupsi dari daerah hingga pusat. Sudah disebut-sebut bahwa ada beberapa kasus Gayus yang sangat fenomenal, atau yang paling terbaru Udin “terkorup sedunia” yang diberitakan kabur ke Singapura. Sudah disinggung-singgung sejumlah nama yang terlibat dalam kasus tersebut, namun media sudah merasa cukup puas jika bisa memberitakan satu narasumber menyebut nama yang disangka terlibat, lalu nama yang bersangkutan memberikan bantahannya.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Beberapa faktor bisa menjadi penyebabnya. Pertama, agaknya memang tidak ada visi dari pemilik atau pengelola media untuk menjadi liputan investigatif sebagai sesuatu yang penting dan harus ada. Walaupun ada, masih belum masuk dalam apa yang penulis sebut di atas. Mereka tidak mau menanggung pelbagai resiko jika terjun total dalam liputan investigatif, mulai dari alokasi sumber daya yang tidak memadai, konsekuensi finansial yang mungkin ditimbulkan berbiaya mahal, belum lagi implikasi hukum apabila pihak-pihak yang tersangkut dalam liputan itu mengajukan gugatan nantinya, terlebih dalam media tersebut merupakan salah satu triangle, yaitu sisi pemasang iklan.

Kedua, ada kecenderungan pemilik media yang melihat liputan investigatif hanya sebgai obat pemuas, hanya berdampak pada prestise atau membangun brand media saja. Mereka lupa bahwa liputan investigatif adalah jiwa sesungguhnya dari jurnalisme karena liputan jenis ini selalu berhubungan dengan hajat hidup seluruh umat. Terlebih pula bahwa informasi dari sebuah jurnalisme yang layak adalah bahan pokok selain sembako.
Beberapa media memang memang mencoba melakukan upaya-upaya yang agak mengarah ke liputan investigatif ini, namun masih jauh dari standar yang lazim berlaku dalam prakten liputan investigatif, karena tetap tidak membongkar hingga kepada akar-akar kejahatan. Beberapa media bahkan membuat laporan yang yang diniatkan seperti lipuatan investigatif, namun sesungguhnya hanya edisi panjang dari hard news yang disajikan sekian hari sebelumnya. Artinya, bentuk depth masih “nanggung”, kadang-kadang bahkan tanpa data baru.

Apa yang kini berlaku dalam dunia jurnalistik Indonesia jelas-jelas sebuah ironi yang memprihatinkan. Justru di masa lalu ketika situasi masih tertutup, dimana informasi dikendalikan oleh penguasa Orde Baru lewat pelbagai cara baik canggih maupun vulgar, masih bisa muncul anomali.

Sementara dulu segala ketertutupan dan kekangan yang diperlakukan Orde Baru mungkin kerap dijadikan kambing hitam sebagai penghambat lahirnya karya-karya bermutu di dunia jurnalisme Indonesia, sekarang tidak ada lagi yang bisa dipersalahkan oleh media. Media harus menuding dan menggugat dirinya sendiri karena tak memiliki semangat dan kemampuan untuk menjadikan profesinya sebagai profesi yang menggentarkan siapa pun yang berniat melakukan tindak kejahatan publik. Semoga ada “Jurnaludin” sedunia !

Minggu, 29 Agustus 2010

Ramadhan, Tradisi Ritual dan Humanisme

Sebagian orang gegap gempita dan suka cita menyambut bulan Ramadhan, sebagian lagi tetap menjalankan rutinitas kesehariannya tanpa ada pengaruh bahwa bulan ini setidaknya menjalankan puasa. Terlihat di pojok warung yang notabene buka 24 jam. Muslimkah? Wallahu a’lam bisshowab. Bagi yang merasakan bulan Ramadhan sulit menggambarkan begaimana perasaan haru dan gembira menjadi satu. Ini adalah kondisi abstrak. Harapan surga, pahala berlipat ganda, ampunan dosa, dan diselamatkan dari api neraka mengisi suasana batin.

Pada dasarnya, menghormati Ramadhan adalah penghargaan terhadap tradisi. Umat yang menghargai tradisinya adalah umat yang autentik. Mereka tidak tercabut dari akar dan memahami tradisi sebagai bagian dirinya karena tradisi merupakan ciptaannya sendiri, sehingga menolak tradisi adalah penolakan terhadap karya umat itu sendiri.

Akan tetapi, penghargaan secara berlebihan , karena disertai dengan sakralisasi, akan menjatuhkan umat pada tradisionalisme, pemberhalaan tradisi. Di sini harus dibedakan antara tradisi dan tradisionalisme. Puasa Ramadhan semestinya didialogkan dengan masalah kemanusiaan, tidak sebatas dijalankan lalu menanti limpahan pahala dan ampunan.

Secara potensial, manusia menyimpan seluruh sifat Tuhan. Apabila sifat itumenjelma menjadi sempurna, bisa disebut insan kamil. Sebuah konsep tentang kesempurnaan akhlak, di mana sifat maskulin dan feminine Tuhan menyatu utuh pada manusia. Jadi, tujuan puasa adalah hendak menjadi Tuhan, dalam pengertian sufistik, yang secra atraktif digambarkan secara takholli (pengosongan), tahalli (pengisian), dan tajalli (penjelmaan). Itulah makna puasa yang harus didialogkan dengan realitas. Lalu realitas yang seperti apa ?

Thomas Hobbes dalam filsafat politiknya mengatakan manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Bias benar, karena realitas yang ada adalah ketamakan yang berimplikasi pada pertikaian sesama. Itu manusia. Karl Max menyimpulkan, sejarah manusia didasari benturan dan gesekan kelas sosial. Tidak jauh beda dengan Hobbes. Realitas yang kita hadapi alih-alih mengarahkan manusia menjadi Tuhan, tetapi menjadi serigala bagi yang lain.
Di sinilah pentingnya mendialogkan puasa dengan realitas. Layakkah kita bergembira menyambut pahala dan surga sedangkan kemiskinan structural masih ada ? Banggakah kita menjalankan puasa sebulan penuh sementara sebagian besar bangsa ini telah dijajah system yang tak humanis ?

Sudah saatnya kita meninjau kembali pemahaman dan cara kita menghargai Ramadhan. Harus ada refresh terhadap makna puasa dan berupaya melakukan dobrakan psikologis dan teologis agar umat tidak terjebak dalam tradisionalisme. (anamak)

Jumat, 05 Februari 2010

Biar Kere Asal Keren


Saya selalu kagum sebagai orang Indonesia kepada Andre Moller, pria berasal dari Swedia yang pernah menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Yogyakarta sembilan tahun yang lalu. Ia menempuh pendidikan Perbandingan Agama dan Bahasa Sastra Indonesia melalui beasiswa dari Kementrian Luar Negeri Swedia. Ada apa dengan Andre?

Sebagai orang asing yang mempelajari Bahasa Indonesia, sampai saat ini ia masih aktif untuk berperan serta dalam tulisan atau penelitian tentang Bahasa Indonesia yang kompleks melalui web dan Surat Kabar Harian. Saya katakan Bahasa Indonesia kompleks berdasarkan Remy Sylado, yang menyatakan sembilan dari sepuluh kata dalam Bahasa Indonesia sebenarnya adalah kata yang berasal dari bahasa lain. Seperti menyaingi iklan sabun mandi yang menyatakan bahwa sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun mandi tersebut.

Banyak yang menanamkan saham dalam bahasa Indonesia diantaranya yaitu Sansekerta, Arab, Cina, Belanda, Inggris, Jawa, dan Sunda. Saham bahasa Inggrislah yang menjadi ikon secara permanen, entah samapai kapan.

Saat masih tinggal di Yogyakarta, Andre menceritakan bagaimana daya pikat Bahas Inggris terhadap Bahasa Indonesia. Ketika ia ingin menjadi anggota di pusat pelatihan kebugaran, terjadi kesalahan pemahaman yang sangat mendasar. Penjaga pusat pelatihan kebugaran tersebut tidak memahami apa yang dimaksud oleh Andre. Namun, saat komunikasi terjalin dengan baik, penjaga tersebut memahami Andre ingin menjadi member di fitness centre.

Memang, bahasa Indonesai merupakan bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia sendiri. Dengan rujukan banyaknya ragam suku dan budaya di negeri ibu pertiwi ini. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan pun sangat berpengaruh. Contoh pemakaian kata anjangsono yang lazim digunakan di beberapa organisasi kedaerahan di Jogja pun sangat kompleks.

Anjang sono (kunjungan rindu) merupakan kata Sunda yang mula-mula dipasarkan oleh Bung Karno secara lisan. Namun, karena Bung Karno pun mengeritik kata Jawa Solo yang seharusnya dituliskan Sala, orang pun secara ‘kreatif’ menganggap anjang sono berasal dari bahasa Jawa karena Bung karno orang Jawa. Maka, kata Sunda pun dituliskan sesuai dengan kaidah bahasa Jawa menjadi anjangsana. Dengan catatan orang Jawa pun tidak memahami makna kata itu karena memang tidak ada dalam kekayaan kosa kata mereka. (lebih lanjut lihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru Balai Pustaka)

Menarik, kurang diteliti, dan cukup menjanjikan bagi para peneliti bahasa. Sehingga, penulisan dan pemilihan kata itu sesuai dengan semboyan biar kere asal keren.

# Anam Ak,
Sedang mempelajari lebih lanjut tentang ilmu komunikasi dan bahasa.

    Blogger news

    Blogroll

    About